Pertumbuhan
dan Uji Kualitatif Kandungan Metabolit Sekunder Kalus Gatang (Spilanthes acmella Murr.) dengan
Penambahan PEG untuk Menginduksi Cekaman Kekeringan
The growth
and qualitative test of secondary metabolite content of the callus culture of Spilanthes acmella Murr. with addition
of PEG to induce drought stress
Zulhilmi*, Suwirmen dan Netty
W. Surya
Laboratorium Riset
Fisiologi Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis, Padang, 25163
*)Koresponden
: zoelciil@yahoo.com
Abstract
The study about the growth and qualitative
test of secondary metabolite content of the callus culture of Spilanthes acmella Murr. with addition
of PEG to induce drought stress had been done used completely randomized design
with six treatments and six replications. The treatments were the addition of
PEG in various consentration : 1%, 2%, 3%, 4%, 5% and control (without addition
of PEG). The result showed that the addition of
PEG to medium could decrease fresh
weight of callus. The fresh weight of callus was decrease significantly by
addition 5% PEG. On the qualitative test of secondary metabolite,
alkaloid content was increase by
addition of 2% - 5% PEG (++), terpenoid content was increase by addition
3% - 4% PEG (++) and fenolik was found on 4% PEG (+).
Keywords: callus culture, secondary
metabolite, PEG, drought stress, Spilanthes
acmella
Pendahuluan
Sekitar 60-75% penduduk bumi
menggantungkan kesehatannya pada tumbuhan (Harvey, 2000). Salah satu tanaman
berkhasiat obat ini adalah gatang (Spilanthes
acmella Murr.).
Tanaman
Gatang (Spilanthes acmella Murr.) yang termasuk ke dalam famili
Asteraceae telah digunakan sebagai obat tradisional untuk sakit gigi, sakit
kepala, asma, rematik, demam, radang tenggorokan dan wasir (Wongsawaktul dan
prachayasittikul, 2008). Ekstrak dari tanaman Gatang juga menunjukkan aktivitas
anti mikroba, antioksidan, dan efek
sitotoksik (Prachayasittikul et al.,
2008). Spilanthes acmella Murr.
mengandung berbagai metabolit sekunder seperti alkaloid (spilanthol) (Gokhale
dan Bhide, 1945, cit. Wongsawatkul
dan Prachayasittikul, 2008), triterpenoid seperti asam 3-acetylaleuritolic,
b-sitostenone, stigmasterol dan stigmasteryl-3-OBD-glucopyranosides dan fenolik
(asam vanilat, asam trans-ferulat dan asam trans-isoferulic), kumarin
(scopoletin) (Prachayasittikul et al.,
2009).
Salah satu upaya untuk
menghasilkan metabolit sekunder dengan jumlah yang banyak adalah dengan teknologi
kultur jaringan seperti kultur kalus (Kristina et al., 2007). Namun, Mantell dan smith (1983) menyatakan bahwa
pada umumnya kandungan metabolit sekunder dalam kultur relatif rendah. Hal ini
disebabkan oleh pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor eksternal seperti pemberian elisitor untuk menim-bulkan
kondisi tercekam dapat digunakan untuk meningkatkan metabolit sekunder (Di Cosmo
dan Masawa, 1995). Elisitor merupakan stimulus fisika, kimia maupun biologi
yang dapat menginduksi respon pertahanan tumbuhan.
Media padat yang
ditambahkan elisitor PEG telah digunakan untuk menciptakan kondisi cekaman
kekeringan dengan menurunkan potensial air pada medium pada berbagai percobaan
kultur jaringan. Potensial air yang rendah di medium menurunkan pembelahan sel
dan meningkatkan kandungan metabolit sekunder (Ehsanpour dan Razavizadeh,
2005).
Konsentrasi pemakaian PEG
sebagai pengatur cekaman kekeringan secara in
vitro bervariasi dengan kisaran 0,2- 20%. Dragiiska et al. (1996) memakai 5-10% PEG pada tanaman alfalfa (Medicago sativa). Penelitian Astuti (cit. Yulinda, 2010) melaporkan bahwa
kandungan alkaloid dari tanaman Catharantus
roseus mengalami peningkatan dengan penambahan 1, 3, 5 dan 7 % PEG.
Sedangkan Yulinda (2010) melaporkan bahwa kandungan metabolit sekunder
triterpenoid pada kultur in vitro
tanaman Centella asiatica meningkat
dengan penambahan 1 dan 2 % PEG.
Penelitian ini dilakukan
dalam mempelajari penggunaan elisitor berupa PEG dalam peningkatan kandungan
metabolit sekunder pada tanaman gatang (Spilanthes
acmella Murr.).
Metode
Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
metoda eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan
dan 6 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah dengan penambahan A. 0% PEG
setara dengan 0 MPa, B. 1% PEG setara dengan -0,01 MPa, C. 2% PEG setara dengan
-0,02 MPa, D. 3% PEG setara dengan -0,03 MPa, E. 4% PEG setara dengan -0,04 MPa,
F. 5 % PEG setara dengan -0,05 MPa (Michael dan Kaufmann, 1973).
Kultur Kalus
Kalus diinduksi dari internodus
tanaman gatang (Spilanthes acmella).
Eksplan kemudian ditanam kedalam medium kalus, yaitu medium MS yang berisi 1
ppm NAA dan 1 ppm BAP. Kalus yang terbentuk disubkultur. Setelah kalus berumur
45 hari, kalus disub kultur ke medium perlakuan.
Penambahan
Elisitor
Penambahan elisitor PEG sesuai
dengan beberapa konsentrasi perlakuan dilakukan saat pembuatan medium subkultur
kalus. Kalus hasil elisitasi di uji pada hari ke-21 setelah elisitasi
(pemberian elisitor).
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setelah 21 hari elisitasi.
Pengamatan yang dilakukan meliputi persentase hidup kalus, tekstur dan warna
kalus, bobot basah kalus (mg), dan analisa kualitatif kandungan metabolit sekunder
yang meliputi pemeriksaan alkaloid, terpenoid dan fenolik.
Pemeriksaan
alkaloid dilakukan dengan metoda Culvenor-Fitzgerald. Reaksi positif alkaloid
ditandai dengan adanya kabut putih hingga gumpalan putih. Apabila terbentuk
kabut putih berarti kandungan alkaloid sedikit ditandai dengan (+), apabila
terbentuk endapan putih menandakan kandungan alkaloid sedang, ditandai dengan
(++), apabila terbentuk gumpakan putih menandakan kandungan alkaloid tinggi,
ditandai dengan (+++) (Culvenor dan
Fitzgerald, 1963).
Pemeriksaan
senyawa terpenoid dilakukan dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Sebagai
pemban-ding dari uji pereaksi Liebermann-Buchard ini, digunakan biji Mahoni
yang dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 0,05 %, dicatat sebagai (+),
0,1 % dicatat sebagai (++) dan 0,5 % dicatat sebagai (+++) (Culvenor dan
Fitzgerald, 1963). Warna sampel dicocokkan dengan warna pembanding untuk
menentukan kadar sedikit (+), sedang (++) dan banyak (+++).
Sedangkan pemeriksaan
senyawa fenolik dilakukan dengan menggunakan pereaksi FeCl3. Sebagai
pembanding digunakan ekstrak tanaman Vitex
trifolia yang dilarutkan dalam
etanol dengan konsentrasi 0,05 %, dicatat sebagai (+), 0,1 % dicatat sebagai
(++) dan 0,5 % dicatat sebagai (+++) (Adfa, 2007). Warna sampel dicocokkan
dengan warna pembanding untuk menentukan kadar sedikit (+), sedang (++) dan
banyak (+++).
Analisis
Data
Analisis
data dilakukan secara statistik terhadap parameter meliputi bobot basah kalus.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Bila pengaruh
perlakuan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan New Range
Test (DNMRT) pada peluang 5 %. Selanjutnya hasil pengamatan dianalisis secara
deskriptif dengan membandingkan setiap perlakuan dan menganalisis kandungan
metabolit sekunder pada masing-masing perlakuan yang berbeda.
Hasil dan Pembahasan
Persentase Hidup,
Tekstur dan Warna Kalus Gatang (Spilanthes acmella Murr.) setelah 21 Hari Penanaman pada Media
Perlakuan PEG.
Setelah 21 hari kalus
ditanam pada media perlakuan didapatkan kalus dengan pertumbuhan yang baik. Pada
Tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase hidup kalus Gatang (Spilanthes acmella Murr.) pada semua
perlakuan adalah 100%. Hal ini menunjukan bahwa cekaman kekeringan yang
ditimbulkan oleh pemberian PEG pada medium dengan konsentrasi tersebut masih
bisa ditoleransi oleh kalus sehingga kalus masih dapat tumbuh dan bertahan
terhadap perlakuan yang diberikan.
Menurut Mansfield dan Atkinson (1990) Respon
tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres yang dialami
dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Bila tanaman dihadapkan
pada kondisi kering maka tanaman mengubah distribusi asimilat baru untuk mendukung
penyerapan air dari media ke tanaman.
Menurut
Pugnaire et al., (1999), sebagian tanaman mentoleransi dehidrasi melalui
mekanisme penyesuaian osmotik.
Senyawa biokimia yang dihasilkan tanaman sebagai respon terhadap kekeringan dan
berperan dalam penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam
amino, dan senyawa terlarut yang kompatibel (Ingram dan Bartels, 1996).
Tabel 1. Persentase hidup, tekstur dan warna
kalus Gatang (Spilanthes acmella Murr.)
setelah 21 hari penanaman pada media perlakuan PEG
Perlakuan |
Persentase
Hidup (%) |
Tekstur
dan Warna Kalus |
A.
0% PEG B.
1% PEG C.
2% PEG D.
3% PEG E.
4% PEG F. 5% PEG |
100% 100% 100% 100% 100 % 100% |
Kompak, kuning kecoklatan, putih, 3 kalus membentuk akar Kompak, kuning kecoklatan, putih, 3 kalus membentuk akar Kompak, kuning kecoklatan, putih, 3 kalus membentuk akar Kompak, kuning kecoklatan, putih, 4 kalus membentuk akar Kompak, coklat, sedikit putih, 3 kalus membentuk akar Kompak, coklat, sedikit putih, 2 kalus membentuk akar |
Pada awal perlakuan, semua kalus yang
diperlakukan berstruktur kompak dan berwarna putih kekuningan. Di akhir
perlakuan, dari segi tekstur kalus tidak mengalami perubahan, semua kalus
bertekstur kompak. Namun dari segi warna, kalus yang diberi perlakuan PEG 0-3%
berwarna kuning kecoklatan pada bagian bawah dan putih pada bagian atas. Bagian
putih menunjukkan sel-sel yang baru terbentuk. Sedangkan kalus yang diberi
perlakuan PEG 4-5% berwarna coklat. Perubahan warna kalus menjadi lebih coklat
ini salah satunya disebabkan oleh terbentuknya senyawa fenolik pada kalus
seiring dengan cekaman kekeringan yang dialaminya. Sutjahjo, Kadir dan Mariska
(2007), menemukan pada seleksi kalus nilam, bahwa peningkatan konsentrasi PEG
dalam medium perlakuan dapat merubah warna kalus dari putih menjadi kuning
kecoklatan hingga pada kondisi cekaman yang ekstrim (20%) kalus berwarna coklat
dan hitam. Selain itu, Hassanein
(1999) cit. Matheka et al., (2008)
menyatakan bahwa pencoklatan eksplan merupakan efek dari hilangnya air akibat
sel mangalami cekaman osmotik.
Berat
Basah Kalus
Hasil perhitungan
berat basah kalus Spilanthes acmella Murr.
pada masing-masing medium perlakuan yang dilakukan 21 hari setelah tanam dapat
dilihat pada tabel 2. Berikut ini:
Tabel 2. Berat basah kalus Spilanthes
acmella Murr. setelah 21 hari penanaman di media perlakuan PEG
Perlakuan
PEG |
Berat
Basah Kalus (mg) |
%Penurunan Berat Basah kalus (dibandingkan dengan
kontrol) |
A. 0% |
120 a |
- |
B. 1% |
120 a |
0 |
C. 2% |
110 a |
8,3 |
D. 3% |
110 a |
8,3 |
E. 4% |
101,67 ab |
15,28 |
F. 5 % |
86,67 b |
27,78 |
Dari Tabel 2
dapat dilihat bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh terhadap
penurunan berat basah kalus. Pemberian PEG 5% memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan berat basah kalus dibandingkan dengan PEG 0%
(kontrol), 1%, 2%, dan 3%. Pemberian PEG 5% mampu menurunkan berat rata-rata
kalus dari 120 mg (kontrol) menjadi 86,67 mg atau menurun 27,78% dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa konsentrasi PEG 5 % memberikan efek cekaman kekeringan pada medium
sehingga menghambat pertumbuhan kalus.
Menurut
Kramer (1983) cekaman kekeringan akan menghambat pertum-buhan. Cekaman
kekeringan menyebabkan turunnya potensial air dan tekanan turgor sehingga
perluasan dan pembelahan sel juga terhambat. Cekaman kekeringan juga mengganggu
berbagai proses metabolik dan bisa berujung pada kematian.
Kalus yang
mengalami cekaman akan mengalami gangguan metabolisme (Biswas, Chowdurry, Bhattacharya
dan Mandal (2002). Bartels dan Sunkar (2005) cit. Matheka et al., (2008) menambahkan
bahwa penurunan pertumbuhan kalus diduga disebabkan oleh penurunan volume
sitoplasma dan vakuola sebagai akibat keluarnya air dari sitoplasma yang
disebabkan oleh penurunan potensial air di sel. Penurunan potensial air di sel
mengakibatkan penyerapan air dan mineral dari media terhambat. Selain itu, PEG
juga menghambat mobilisasi sukrosa yang terdapat pada medium sehingga
mengganggu pemenuhan kebutuhan sukrosa yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan
kalus pada eksplan tersebut (El-Rahman, 2007).
Cekaman
kekeringan juga mengganggu metabolisme nitrogen. Hal ini tentunya juga
berdampak langsung pada pertumbuhan kalus. Secara umum cekaman kekeringan akan
menghidrolisis protein dan mengakumulasikan berbagai asam amino. Selain itu cekamam
kekeringan juga akan menghambat sintesis protein dari asam amino dengan
menghambat kerja enzim yang berperan dalam sintesis protein (Kramer, 1983).
Sehingga perlakuan cekaman kekeringan dapat menghambat pertumbuhan tanaman
(Lestari dan Sukmadjaja, 2006).
Pada Tabel 2
dapat juga dilihat bahwa perlakuan 1%, 2%, 3% dan 4% PEG tidak terlalu
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan berat basah kalus
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena kalus mampu
beradaptasi terhadap cekaman yang diterimanya. Menurut Mansfield dan Atkinson
(1990) Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres
yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Bila tanaman
dihadapkan pada kondisi kering maka tanaman mengubah distribusi asimilat baru
untuk mendukung penyerapan air dari media ke tanaman.
Menurut
Pugnaire et al., (1999), sebagian tanaman mentoleransi dehidrasi melalui
mekanisme penyesuaian osmotik.
Senyawa biokimia yang dihasilkan tanaman sebagai respon terhadap kekeringan dan
berperan dalam penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam
amino, dan senyawa terlarut yang kompatibel (Ingram dan Bartels, 1996).
Analisa Kualitatif
Kandungan Metabolit Sekunder pada Kalus Spilanthes acmella Murr. Setelah 21
hari Penanaman pada Media Perlakuan
Hasil analisa
Kandungan Metabolit Sekunder pada Kalus Spilanthes
acmella Murr. dengan penambahan PEG dengan beberapa konsentrasi sebagai
elisitor dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3. Kategori kandungan metabolit sekunder pada kalus Gatang (Spilanthes acmella Murr.) setelah 21
hari penanaman di media perlakuan
Perlakuan |
Alkaloid |
Terpenoid |
Fenolik |
A.
0% PEG |
+ |
+ |
- |
B.
1% PEG |
+ |
+ |
- |
C.
2% PEG |
++ |
+ |
- |
D.
3% PEG |
+ |
++ |
- |
E.
4% PEG |
+ |
++ |
+ |
F.
5 % PEG |
++ |
+ |
- |
Ket: (-)
: tidak terdeteksi, (+) : sedikit, (++) : sedang
Data yang
diperoleh pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa pemberian PEG dari konsentrasi 2%
sampai 5% ke dalam medium dapat meningkatkan konsentrasi metabolit sekunder
secara umum dibandingkan dengan kontrol (tanpa penambahan PEG) dan perlakuan B
(1% PEG). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian PEG dari konsentrasi 2% sampai 5%
sudah menyebabkan kalus mengalami stress sehingga memacu pembentukan metabolit
sekunder. Menurut Rahayu et al (2005)
kehadiran PEG pada medium dapat menurunkan potensial osmotik larutan sehingga
ketersediaan air bagi tanaman akan berkurang. Berkurangnya ketersediaan air
bagi tanaman ini mengganggu berbagai proses metabolisme.
Perlakuan PEG 2% dan 5% meningkatkan sintesis alkaloid sedangkan
kandungan terpenoid meningkat pada perlakuan 3 % dan 4 % PEG dibandingkan
dengan kontrol. Adapun senyawa fenolik hanya muncul pada perlakuan PEG 4%. Dari
hasil ini dapat dilihat bahwa jenis metabolit sekunder yang dihasilkan berbeda pada
beberapa perlakuan. Hal ini mungkin dikarenakan hasil yang didapatkan
ditentukan oleh substrat yang terkandung dalam masing-masing kalus.
Cekaman kekeringan menginduksi berbagai respon
biokimia dan fisiologis pada
tumbuhan. Di bawah kondisi
tercekam kekeringan sel tanaman kehilangan air dan menurunkan tekanan turgor. Hormon asam absisat tanaman meningkat
sebagai akibat dari cekaman kekeringan dan asam absisat memiliki peran penting
dalam toleransi tanaman terhadap
kekeringan dan diduga memiliki peran dalam melindungi sel dari defisit air (Ingram dan
Bartels, 1996).
Asam absisat merupakan seskuiterpenoid berkarbon
15. Senyawa Seskuiterpen masuk ke golongan senyawa yang dinamakan isoprenoid,
terpenoid atau terpen. Golongan senyawa ini mempunyai sifat umum lipid dengan
satuan rumus bangun lima karbon. Unit lima karbon ini disebut unit isopren.
Unit isopren disintesis seluruhnya dari asetat senyawa asetil CoA yang biasa
disebut lintasan asam mevalonat. Yang termasuk Isoprenoid adalah hormon seperti
giberelin, asam absisat, farsenol, xantoksin (Prazat hormon asam absisat),
karotenoid, turpentin, karet, ekor fitol dari klorofil (Salisbury dan Ross,
1992). Adapun senyawa terpenoid yang biasa ditemukan pada tanaman Spilanthes Acmella Murr. seperti asam 3-acetylaleuritolic,
b-sitostonone, stigmasterol dan stigmasteryl-3-OBD-glucopyranoside (Prachayasittikul et al., 2008).
Cekaman kekeringan juga mengganggu metabolisme nitrogen. Secara
umum, cekaman kekeringan menghidrolisis protein dan mengakumulasi asam amino,
terutama prolin. Akumulasi prolin dipicu oleh sintesisnya dari glutamat karena
hilangnya inhibitor (penghambat) umpan balik, menurunnya oksidasi prolin dan
menurunnya penggabungannya menjadi protein (Kramer, 1983). Stress Air merangsang aktivitas ornithine amino-transferase
dan pyrroline-5-karboksilat reduktase, enzim biosintesis prolin dan menghambat
enzim yang terlibat dalam degradasi prolin yaitu, prolin oksidase
pyrroline-5-karboksilat dehidrogenase (kandpal et al, 1981).
Selain prolin, senyawa lain yang
merupakan produk dari metabolisme nitrogen juga dihasilkan. Terlihat pada tabel
3 bahwa pemberian PEG dengan konsentrasi 2% dan 5% meningkatkan kandungan
alkaloid pada kalus Spilanthes acmella.
Menurut Bidwell (1979) akibat dari cekaman kekeringan sangat kompleks bagi
sitoplasma. Akibatnya secara langsung adalah kekurangan air, sitoplasma menjadi
lebih pekat. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan dalam proses biokimia.
Berbagai zat diakumulasikan ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan.
Akumulasi berbagai metabolit sekunder adalah hasil sampingan dari jalur
metabolik normal yang terganggu.
Alkaloid, dari segi biogenetik diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino
yaitu ornitin dan lisin yang
menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin
dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid
indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid
adalah reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina primer dan
sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga
melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi.
Jalur poliketida dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam
biosintesis alkaloid.
Menurut Wadleigh
et al., (1946, cit. Kramer, 1983) cekaman kekeringan menurunkan berat
basah namun meningkatkan produksi karet pada tanaman guayule dengan signifikan,
cekaman kekeringan juga juga meningkatkan produksi senyawa aromatis yang
diinginkan pada tembakau Turki (wolf, 1962, cit. Kramer, 1983). Tetapi juga
meningkatkan nitrogen dan kandungan nikotin yang tidak diinginkan (Van Barel,
1953, cit. Kramer, 1983).
Cekaman kekeringan dilaporkan meningkatkan kandungan alkaloid
tanaman Atropa belladonna, Hyscyamus muticus dan Datura. Selain itu
cekaman kekeringan juga meningkatkan kandungan minyak dari tanaman mint dan
zaitun (Evenari,1960).
Penelitian
Astuti (cit. Yulinda, 2010)
melaporkan bahwa kandungan alkaloid dari tanaman Catharantus roseus mengalami peningkatan dengan penambahan 1, 3, 5
dan 7 % PEG. Sedangkan Yulinda (2010) melaporkan bahwa kandungan metabolit
sekunder triterpenoid pada kultur invitro tanaman Centella asiatica meningkat dengan penambahan 1 dan 2 % PEG.
Selain Alkaloid dan Terpenoid. Senyawa fenolik juga dihasilkan
oleh kalus yang diberi perlakuan PEG 4%. Senyawa fenolik hanya muncul dengan
kadar sedikit (+) dan hanya muncul pada perlakuan 4%. Menurut Salisbury dan Ross (1992) dengan kekecualian tertentu,
fungsi fisiologis sebagian besar fenol tidak jelas. Banyak diantaranya sekedar
sebagai produk samping metabolisme.
Kebanyakan senyawa fenol dihasilkan dari lintasan
asam sikimat. Semua senyawa fenol mempunyai cincin aromatik yang mengandung
bermacam gugus pengganti yang menempel seperti hidroksil, karboksil, metoksil
dan sering juga struktur cincin bukan aromatik. Fenilalanin, tirosin dan
triptofan adalah asam amino aromatik yang terbentuk melalui jalan yang umum
bagi senyawa fenol (Salisbury dan Ross, 1992).
Secara umum. Kualitas metabolit sekunder yang didapatkan pada
penelitian ini paling tinggi adalah pada kalus dengan perlakuan PEG 4% dimana
pada kalus tersebut ditemukan 3 kelompok senyawa metabolit sekunder yaitu
alkaloid (+), terpenoid (++) dan fenolik (+). Hal ini mungkin disebabkan karena
sintesis senyawa metabolit sekunder tersebut tergantung pada ketersediaan
prekursor dari masing-masing senyawa metabolit sekunder pada tanaman. Seperti ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin
dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid
indol. Fenilalanin, tirosin dan triptofan adalah asam
amino aromatik yang terbentuk melalui jalan yang umum bagi senyawa fenol
(Salisbury dan Ross, 1992).
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pemberian PEG memberikan efek
terhadap penurunan berat basah kalus dimana berat basah kalus menurun dengan
signifikan pada pemberian 5% PEG. Pada uji kualitatif kandungan metabolit
sekunder, kandungan alkaloid meningkat dengan penambahan 2% dan 5% PEG dengan
kadar sedang, kandungan terpenoid meningkat pada penambahan 3% dan 4% PEG
dengan kadar sedang dan senyawa fenoik muncul pada penambahan 4% PEG dengan
kadar sedikit.
Ucapan Terima kasih
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Zozy Aneloi Noli yang telah
memberi banyak masukan dan saran dalam penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
Adfa, M. 2007. Isolasi
Senyawa Flavonoid Aktif Berkhasiat Sitotoksik dari Daun Kemuning (Murraya Panicullata L. Jack.). Jurnal
Gradien 3 (2) : 262-266.
Bidwell, R. C. S. 1979. Plant Physiology.
Macmillan Publishing co., Inc. New York.
Biswas, B., Chowdurry, A. Bhattacharya and B. Mandal. 2002. In Vitro Screening for increasing
Drought Tolerance in Rice. In Vitro Cell.
Dev. Biol-Plant. 35 : 525-530.
Culvenor,
C. C. J and J. S. Fitzgerald. 1963. A Field Method for Alkaloid Screening of
Plants. J. Pharm. Sci. 52: 303-306.
Di Cosmo, F., and M.
Misawa. 1995. Plant Cell and Tissue Culture : Alternatives for Metabolites Production. Biotechnology Advances 3 : 425-453.
Dragiiska, R., D.
Djilianov, P. Denchev and A. Atanassov. 1996. In Vitro Selection for Osmotic Tolerance in Alfalfa (Medicago
Sativa L.) Bulg. J. Plant physiol. 22 (3-4) : 30-39.
Ehsanpour, A. A., and R.
Razavizadeh. 2005. Effect of UV-C on Drought Tolerance of Alfalfa (Medicago sativa) Callus. American Journal of Biochemistry and
Biotechnology I (2) : 107-110.
El-Rahman,
A., M. F. Al-Ansary, A. A. Rizkalla and A. M. Badr-Elden. 2007.
Micropropagation and Biochemical Genetic Markers Detection for Drought and Salt
Tolerance of Pear Roostock. Australian Journal
of Basic and Applies Sciences 1(4): 625-636.
Evenari, M.
1960. Plant Physiology and Zone Research. Arid
zone Res. 18: 175-195.
Harvey, A. 2000.
Strategies for Discovering Drugs from Perviously Unexpioned Natural Product. Drugs discovery Today 5 (7) : 294-300.
Ingram, J.
and D. Bartels. 1996. The Molecular Basis of Dehydration Tolerance in Plants. Ann. Rev. Physiol. Mol. Biol. 47 : 377-403.
Kandpal, R.
P., C. S. Vaidyanathan, M. Udaya, K. S. K. Sastry and N. A. Rao. 1981. Alterations in The Activities of The Enzymes
of Proline Metabolism in Ragi (Eleusine Coracana) Leaves During Water
Stress. J. Biosci., 3 (4) : 361-370.
Kramer,
P. J. 1983. Water Relation of Plant.
Academic Press, Inc. Ltd. London.
Kristina,
N. N. 2007. Peluang Peningkatan Kadar
Kurkumin pada tanaman Kunyit dan Temulawak. Balai Penelitian Obat dan
Aromatik.
Lestari, E. G., dan D. Sukmadjaja. 2006. Uji Toleransi Kekeringan
pada Galur Somaklonal IR64 dan Towuti Hasil Seleksi In Vitro. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25(2) : 85-90.
Mansfield, T.
A., and C. J. Atkinson. 1990. Stomatal behavior in water stressed plants. In : Alscher and Cumming (Eds.).
Stress Respons in Plant: Adaptation and Acclimation Mechanisms. Wiley-Liss.
Inc. New York. P : 241-246.
Mantell, J.
M., E. Magiri, A. O. Rasha and J. Machuka. 2008. In vitro selection and characterization of drought tolerance
somaclones of tropical maize (Zea mays
L.). In : Mantell, S. H., H. Smith
(Eds.). Plant Biotechnology.
Cambridge University Press. New York. P : 75-108.
Matheka, J.
M., E. Magiri, A. O. Rasha and J. Machuka. 2008. In Vitro Selection and Characterization of Drought Tolerance
Somaclones of Tropical Maize (Zea mays L.). Journal of Biotechnology 7(4) : 641-650.
Michael, B.
E., and M. R. Kaufmann. 1973. The Osmotic Potential of Polyethylene Clycol
6000. Plant Physiol. 51 : 914-916.
Prachayasittikul, S., S.
Suphapong, and A. Worachartcheewan.
2009. Bioactive Metabolites from Spilanthes
acmella Murr. Molecules 14 :
850-867.
Pugnaire, F.
I., L. Serrano and J. Pardos. 1999. Constrains by water stress on plant growth.
In : M. Pessarakli
(Ed.). Handbook of Plant and Crop Stress 2nd. Marcell Dekker. New
York. P : 271-283.
Rahayu, E. S., E.
Guhardja, S. Ilyas dan Sudarsono. 2005. Polietilen Glikol (PEG) dalam Media In Vitro Menyebabkan Kondisi Cekaman
yang Menghambat Tunas Kacang Tanah (Arachis
hypogea L.). Berk. Penel. Hayati
II : 39-48.
Salisbury, F. B., dan C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. (Terj. Lukman, D. R., dan Sumaryono). Penerbit
ITB. Bandung.
Sutjahjo, S., A. Kadir dan I. Mariska. 2007. Efektifitas Polietilen
Glikol sebagai Bahan Penyeleksi Kalus Nilam yang di Iradiasi Sinar Gamma untuk
Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan. Jurnal
Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 9(1) : 48-57.
Sutjahjo, S.,
A. Kadir dan I. Mariska. 2007. Efektivitas Polietilen Glikol sebagai Bahan
Penyeleksi Kalus Nilam yang Diiradiasi Sinar Gamma untuk Toleransi Terhadap
Cekaman Kekeringan. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia 9(1) : 48-57.
Wongsawatkul, O., and S.
Prachayasittikul. 2008. Vasorelaxant and Antioksidan Activities of Spilanthes acmella Murr. Int. J. Mol. Sci. 9 : 2724-2744.
Yulinda, E. 2010. Kultur In Vitro Tanaman Centella asiatica
dengan Beberapa Konsentrasi Polietilen Glikol (PEG) 6000 dan Potensinya untuk
Produksi Metabolit Sekunder Triterpenoid. [Skripsi]. Universitas Andalas.
Padang.
Refbacks
- There are currently no refbacks.